SEJARAH KRISTEN MASUK MINAHASA
(di dalamnya ada keterlibatan dotu/opo Sumanti yg pertama kali di baptis di tondano)
Sekitar tahun 1812, pada masa pemerintahan Inggris (1810-1817), 2 tahun sesudah Perang Minahasa di Tondano, Pemerintah mengadakan penataan kota Tondano dengan membuat jalan-jalan di kota Tondano, yang memanjang dari Utara ke Selatan dan jalan-jalan melintang dari Timur ke Barat. Jalan-jalan ini pula yang menjadi batas antar Kampung (Kelurahan) sampai sekarang. Penduduk sudah mulai teratur pemukimannya dan khusus dalam Wilayah pelayanan Jemaat Sion (yang dalam tulisan ini disebut Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”) terdiri dalam territorial Kampung Kelurahan Kendis, Wengkol, Ranowangko dan Luaan, yang pada waktu itu sudah banyak pemukimnya.
Pada tahun 1817, Pemerintahan diserahkan lagi kepada Pemerintah Belanda dimulailah pada saat itu pemerintah Belanda mengangkat Kepala-kepala Walak yang tunduk kepada Belanda. Kepala-kepala walak ini diberi wewenang membentuk kelompok-kelompok penduduk dalam suatu pemukiman (koloni/kampung) dan membuka areal-areal hutan menjadi tempat berkebun Mereka diwajibkan menanam tanaman (kopi) seperti di areal perkebunan Sisipen, disamping tetap mengerjakan/mengolah sawah sebagai sumber beras untuk bahan makanan.
Pada tahun 1825, didatangkanlah dari Pulau Jawa rombongan Kyai Mojo berjumlah 63 orang (buangan oleh Pemerintah Belanda), dan ditempatkan disuatu areal yang diapit dan berbatasan sebelah Utara dengan Desa Tonsea Lama, Sebelah Timur dengan Kelurahan Wulauan , Sebelah Barat Kampung/Kelurahan Luaan sebelah Selatan dengan Kampung Kelurahan Ranowangko.
Pada tahun 1829, wilayah pemerintahan kota Tondano dibagi dua dari Utara ke Selatan: Sebelah Timur dengan nama Distrik Toulimambot dan sebelah Barat dengan nama Distrik Touliang, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Walak (Kumbasar). Kepala-kepala walak itu membawahi Kepala-kepala kampung (Desa/Kelurahan) yang disebut Ukung tu’a (Kuntua sekarang Lurah) termasuk 4 Kampung (Kelurahan) yang didiami oleh Anggota Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”. Keyakinan penduduk tentang kuasa Allah, sudah nampak dalam kebiasaan serta adat istiadat dalam kehidupan masyarakat yang ditandai dengan yang mereka lakukan seperti antara lain :
Setiap ada niat, maksud dan rencana perombakan hutan, pembukaan tanah garapan untuk bercocok tanam, panenan, membangun rumah, naik rumah baru, (sumolo/ pemasangan lampu), merantau menikahkan anak,melahirkan anak dan acara-acara tradisional dan lain-lainnya, diawali dengan memohon petunjuk OPO EMPUNG, yang dianggap/diyakini dan disembah sebagai penguasa alam semesta dan segala isinya dengan tanda suara burung Loyot (burung Manguni) sebagai bukti perkenanan TUHAN atas rencana permohonannya (band. Kisah 17:23).
Khusus penduduk di wilayah Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”, pada masa itu menurut silsilah keluarga yang lahir pada tahun 1800-an, ada yang diberi nama: LUKAS, SIMON, NICODEMUS, ESTEFANUS dll. Nama-nama yang dikutip dari kitab Injil sudah diadopsi oleh masyarakat sebagai pengaruh atas suatu misi Gereja Katolik pada tahun 1568 di Minahasa oleh Pater Diego Magelhais. Kemudian berturut-turut pada tahun 1660 penjajah Spanyol dan Portugis diusir oleh bakal penjajah Belanda. Karena penjajah Belanda ini beragama Kristen Protestan maka dibawalah Pendeta-pendeta Kristen Protestan yang melayani tentara-tentara Belanda masuk di Minahasa. Pada tahun 1700 tercatat sudah ada ± 25.000 orang Kristen yang tersebar dipesisir pantai Minahasa. Oleh karena itu tidak heran kalau 2 tahun sesudah Perang di Minahasa di Tondano ( 1808-1809), setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Belanda kepada Inggris dilakukanlah pembaharuan perjanjian yang dibuat pada tanggal 14 September 1810, tersirat bahwa orang-orang Tondano yang sedang berperang melawan Kompeni Inggris telah memiliki pemahaman religi yang bernafaskan Injil seperti nyata dalam pasal 10 perjanjian Minhasa Inggris yang terjemahannya sebagai berikut :
Kami, Kepala Walak dan Ukung Manado (Minahasa), bersumpah dan berjanji bahwa kami tak akan berbuat dosa lagi dengan cara melakukan penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan. Karena dngan demikian, murka Allah akan berlaku atas kami .(Sejarah Perang Minahasa di Tondano : Lembaga Penelitian Sejarah)
Pada tahun 1817 seorang pekabar Injil bernama Josef Kam (disebut Rasul Maluku) datang melihat keadaan Jemaat Kristen di Minahasa. Jumlah anggota tinggal ± 3000 orang. Karena tidak ada pelayanan. Kemudian Pendeta Josef Kam (satu-satunya pendeta Gereja Protestan di Indonesia Timur dan memiliki jiwa zendeling) menyurat dan meminta kepada Badan Pekabaran Injil di Belanda yakni NZG agar mengirimkan utusan-utusan penginjil di Minahasa. Pada waktu Ds. G.J. Hellendoom bertugas sebagai pendeta di Manado (mulai tahun 1827) setelah mengadakan perjalanan ke pedalaman , ia mendesak Pengurus NZG agar mengirim utusan-utusan Injil ke Minahasa, sehingga ia dijuluki Gronlegger van Zendeling in de Minahasa ( Peletak dasar kegiatan pekabaran Injili di Minahasa). Atas petunjuk Ds. G.J. Hellendoom , maka pada waktu Pdt.Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz tiba di Manado dari Ambon pada tanggal 12 Juni 1831, Riedel dan Schwarz sebagai zendeling yang pertama masuk di Minahasa kemudian ditempatkan di Tondano (Riedel) dan Langoan (Schwarz).
Setelah selama ±4 bulan Pdt.Johann Friedrich Riedel di Manado dengan mempelajari bahasa, watak, adat istiadat dan kebudayaan orang-orang Tondano, maka pada tanggal 14 Oktober 1831, barulah ia datang di Tondano. Ia lebih memperdalam bahasa Tondano dengan mengintegrasikan dirinya dalam pergaulan dengan masyarakat. Ada sekitar ± 100 orang yang telah mengenal kekristenan walaupun pemahaman mereka masih sangat kurang. Karena itu usaha pertama Riedel dalam kegiatan penginjilan dengan memberi perhatian pada sekolah yang sudah ada serta mengadakan pendekatan dengan penduduk mengenai kehidupan sesehari serta perkunjungan rumah tangga. Perhatian Riedel terhadap orang-orang sakitpun sangat besar. Pendekatan terhadap masyarakat Tondano ditopang oleh isterinya yang sangat berperan dalam menciptakan suasana yang sangat bersahabat apabila ada percakapan-percakapan dengan penduduk di rumah tempat tinggal Riedel. Kegiatan selanjutnya adalah mengupayakan pendidikan bagi tenaga-tenaga pribumi untuk menyebar-luaskan kepercayaan “kekristenan dalam hati” (paham pietisme), dan memberi ruang bagi bertumbuhnya kehidupan gerejawi bergaya Minahasa. Salah satu pokok penting tentang pelaksanaan baptisan agar jangan dilakukan secara terburu-buru. Ketulusan keyakinan seseorang calon baptisan harus menjadi kriteria utama bagi pembaptisannya. Dilakukannya demikian setelah ia mempelajari daftar baptisan di Tondano dari abad ke 18 dan sangat terkejut setelah membaca tentang baptisan masal yang pernah dilaksanakan tanpa persiapan dan ujian. Sedangkan pandangannya tentang baptisan adalah: “Siapa yang mau menjadi Kristen tidak boleh bermaksud lain selain mencari keselamatan jiwanya; Ia harus meninggalkan kepercayaan dan kebiasaan agama suku (alifuru); Ia harus mengaku percaya kepada Allah yang benar dan Esa dan kepada Yesus Kristus Anak-Nya Sang Penebus; Ia harus berjanji akan hidup selaku orang Kristen sebagai ungkapan syukur atas anugerah-Nya. “Melalui pendekatan rangkap (pendidikan dan pengajaran Kristen) Riedel menyatukan diri dan keluarganya dengan masyarakat yang ada di Tondano. Perkembangan orang Kristen di Tondano meningkat setelah dibaptisnya seorang tokoh agama suku (walian) pada tahun 1834, sehingga sesudah Riedel bekerja melayani selama 8 tahun maka pada tahun 1839, didirikanlah bangunan Gereja (dikompleks Gereja Sentrum sekarang) dengan 800 tempat duduk. Bersamaan dengan itu didirikan pula tempat-tempat pertemuan/tempat beribadah di sore hari. Dengan cara pendekatan yang dilakukannya berbuah yang sangat mengherankan sehingga pada tahun 1850, penduduk Tondano yang dibaptis mencapai 70%.
Ada cerita tentang pertemuan pertama Pdt. Riedel pada saat berkunjung di tempat kediaman Walian tersebut (Dotu Sumanti) berupa rumah panggung yang terletak dikintal Puterpra dulu di Kelurahan Kendis. Setelah tiba dimuka rumah Sumanti, ia memanggil si Walian dan terjadilah dialog sbb :
Riedel : O patuariku Sumanti ko manakan ? ( Hai saudaraku Sumanti apakah engkau ada ?)
Walian : Patuariku wisa ko, ko kulo’ (Saudaraku dari mana kamu,, kulitmu putih)
Riedel : Penampa’an’ku waki katerungan di êndo. Ni’itu mou ku kulo’ Ku nêi rêomi ni Telu matuari, si siminalar kaoatan yê’i, nêi sêron si patuarimu Sumanti waki Toudano. ( Saya berasal di tempat yang terlindung cahaya matahari.Saya disuruh/diperintahkan oleh Allah Tritungga , untuk datang cari /menemui saudaramu Sumanti di Tondano.)
Walian : Em, sa tuana lumongkoti (sambil menurunkan tangga). ( Em, kalau demikian, silahkan naik)
Riedel : (Riedel kemudian naik kerumah panggung itu)
Walian : Rumuber, tumenga’ (Silahkan duduk, silahkan makan pinang)
Riedel kemudian duduk dan menerima tawaran Walian Sumanti untuk mengunyah pinang. Setelah itu terjalinlah hubungan antara mereka sehingga memudahkan Riedel untuk menjelaskan tentang siapa Allah Tritunggal itu.
Dalam waktu yang singkat, Dotu Sumanti bersama 6 (enam) orang pembantunya menerima untuk dibaptiskan di kali kecil di belakang Kantor PLN Ranting Tondano sekarang. (Dituturkan oleh Bapak Willy Wakary)
Selama hampir 30 tahun Riedel bekerja di Minahasa berpusat di Tondano telah membaptis 9341 orang dan menerima/meneguhkan sebanyak 3851 anggota menjadi sidi jemaat. Dalam pelayanan Riedel juga dibantu oleh para saksi baptisan yang turut mengambil alih tugas pengajaran dan bimbingan kepada para calon baptisan. Tradisi saksi baptisan dibawa Riedel dari Gereja di Jerman, dan pengajaran baptisan dilaksanakan dalam “kampongan” yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan membentuk kelompok-kelompok katekhisasi baptisan dan pengajaran sidi. Baptisan dan Perjamuan Kudus ( 2 jenis sakramen yang diakui oleh Gereja Protestan) dipisahkan. Mereka yang telah dibaptis dan menjadi calon anggota sidi jemaat, harus tambah belajar dengan memperdalam pemahaman tentang ajaran-ajaran dalam Alkitab, agar supaya pengakuannya lebih teliti, mendalam dan mendasar. Perjamuan Kudus yang dilaksanakan oleh Riedel pada masa itu tidak lebih dari 2 kali dalam setahun. Karena keseriusannya tentang Perjamuan Kudus ia menekankan : “ Dengan takut dan gentar, dengan mencucurkan air mata dalam ketakutan bahwa siapa yang minum dan makan dengan tidak berlayak akan memberatkan hukuman .”
Methode pelayanan Riedel menempatkan pengajaran sebagai misi utama, sehingga ketika Riedel tiba di Tondano baru terdapat 4 sekolah di wilayah kerjanya, setelah dua puluh satu tahun kemudian (1852) sudah ada 16 sekolah dengan sekitar 1500 murid. Bagi setiap orang yang meminta dibaptis berlaku syarat sebagai berikut :
Dalam pelayanan/pemberitaan disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam ibadah Minggu dipergunakan bahasa Melayu, dilanjutkan dengan “salinan” pada sore hari yaitu khotbah yang diucapkan dalam bahasa Melayu di Gereja (Sentrum sekarang), diulangi dalam bahasa setempat (Tondano) di tempat-tempat ibadah/pertemuan jemaat., yang kemudian dikembangkan menjadi kelompok belajar Alkitab yaitu pada hari Senin dan Kamis malam. Walaupun dikemudian hari bahasa Melayu sudah dipakai oleh masyarakat/jemaat tetapi ibadah “salinan” tetap berarti dan dilaksanakan sampai sekarang.
Pada tahun 1852 Riedel jatuh sakit dan tidak bekerja lagi sampai ia wafat pada tanggal 12 Oktober 1860 di Tondano dimakamkan di pekuburan umum di Kelurahan Ranowangko Tondano.
Pendeta NZG yang melayani Tondano
Pdt. J.F. Riedel 1831 – 1852
Pdt H.W. Nooij 1852 - 1853 (meninggal karena penyalit perut pada 21/12-1853)
Pdt. J.H. Rooker 1854 - 1905
Pdt. Langevord 1906 – 1920.
sekian & terimah kasih
(dari RAIN SUMANTI @ grup KELUARGA BESAR SUMANTI on facebook)
(di dalamnya ada keterlibatan dotu/opo Sumanti yg pertama kali di baptis di tondano)
Sekitar tahun 1812, pada masa pemerintahan Inggris (1810-1817), 2 tahun sesudah Perang Minahasa di Tondano, Pemerintah mengadakan penataan kota Tondano dengan membuat jalan-jalan di kota Tondano, yang memanjang dari Utara ke Selatan dan jalan-jalan melintang dari Timur ke Barat. Jalan-jalan ini pula yang menjadi batas antar Kampung (Kelurahan) sampai sekarang. Penduduk sudah mulai teratur pemukimannya dan khusus dalam Wilayah pelayanan Jemaat Sion (yang dalam tulisan ini disebut Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”) terdiri dalam territorial Kampung Kelurahan Kendis, Wengkol, Ranowangko dan Luaan, yang pada waktu itu sudah banyak pemukimnya.
Pada tahun 1817, Pemerintahan diserahkan lagi kepada Pemerintah Belanda dimulailah pada saat itu pemerintah Belanda mengangkat Kepala-kepala Walak yang tunduk kepada Belanda. Kepala-kepala walak ini diberi wewenang membentuk kelompok-kelompok penduduk dalam suatu pemukiman (koloni/kampung) dan membuka areal-areal hutan menjadi tempat berkebun Mereka diwajibkan menanam tanaman (kopi) seperti di areal perkebunan Sisipen, disamping tetap mengerjakan/mengolah sawah sebagai sumber beras untuk bahan makanan.
Pada tahun 1825, didatangkanlah dari Pulau Jawa rombongan Kyai Mojo berjumlah 63 orang (buangan oleh Pemerintah Belanda), dan ditempatkan disuatu areal yang diapit dan berbatasan sebelah Utara dengan Desa Tonsea Lama, Sebelah Timur dengan Kelurahan Wulauan , Sebelah Barat Kampung/Kelurahan Luaan sebelah Selatan dengan Kampung Kelurahan Ranowangko.
Pada tahun 1829, wilayah pemerintahan kota Tondano dibagi dua dari Utara ke Selatan: Sebelah Timur dengan nama Distrik Toulimambot dan sebelah Barat dengan nama Distrik Touliang, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Walak (Kumbasar). Kepala-kepala walak itu membawahi Kepala-kepala kampung (Desa/Kelurahan) yang disebut Ukung tu’a (Kuntua sekarang Lurah) termasuk 4 Kampung (Kelurahan) yang didiami oleh Anggota Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”. Keyakinan penduduk tentang kuasa Allah, sudah nampak dalam kebiasaan serta adat istiadat dalam kehidupan masyarakat yang ditandai dengan yang mereka lakukan seperti antara lain :
Setiap ada niat, maksud dan rencana perombakan hutan, pembukaan tanah garapan untuk bercocok tanam, panenan, membangun rumah, naik rumah baru, (sumolo/ pemasangan lampu), merantau menikahkan anak,melahirkan anak dan acara-acara tradisional dan lain-lainnya, diawali dengan memohon petunjuk OPO EMPUNG, yang dianggap/diyakini dan disembah sebagai penguasa alam semesta dan segala isinya dengan tanda suara burung Loyot (burung Manguni) sebagai bukti perkenanan TUHAN atas rencana permohonannya (band. Kisah 17:23).
Khusus penduduk di wilayah Jemaat SION “TEMPO DOLEOE”, pada masa itu menurut silsilah keluarga yang lahir pada tahun 1800-an, ada yang diberi nama: LUKAS, SIMON, NICODEMUS, ESTEFANUS dll. Nama-nama yang dikutip dari kitab Injil sudah diadopsi oleh masyarakat sebagai pengaruh atas suatu misi Gereja Katolik pada tahun 1568 di Minahasa oleh Pater Diego Magelhais. Kemudian berturut-turut pada tahun 1660 penjajah Spanyol dan Portugis diusir oleh bakal penjajah Belanda. Karena penjajah Belanda ini beragama Kristen Protestan maka dibawalah Pendeta-pendeta Kristen Protestan yang melayani tentara-tentara Belanda masuk di Minahasa. Pada tahun 1700 tercatat sudah ada ± 25.000 orang Kristen yang tersebar dipesisir pantai Minahasa. Oleh karena itu tidak heran kalau 2 tahun sesudah Perang di Minahasa di Tondano ( 1808-1809), setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Belanda kepada Inggris dilakukanlah pembaharuan perjanjian yang dibuat pada tanggal 14 September 1810, tersirat bahwa orang-orang Tondano yang sedang berperang melawan Kompeni Inggris telah memiliki pemahaman religi yang bernafaskan Injil seperti nyata dalam pasal 10 perjanjian Minhasa Inggris yang terjemahannya sebagai berikut :
Kami, Kepala Walak dan Ukung Manado (Minahasa), bersumpah dan berjanji bahwa kami tak akan berbuat dosa lagi dengan cara melakukan penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan. Karena dngan demikian, murka Allah akan berlaku atas kami .(Sejarah Perang Minahasa di Tondano : Lembaga Penelitian Sejarah)
Pada tahun 1817 seorang pekabar Injil bernama Josef Kam (disebut Rasul Maluku) datang melihat keadaan Jemaat Kristen di Minahasa. Jumlah anggota tinggal ± 3000 orang. Karena tidak ada pelayanan. Kemudian Pendeta Josef Kam (satu-satunya pendeta Gereja Protestan di Indonesia Timur dan memiliki jiwa zendeling) menyurat dan meminta kepada Badan Pekabaran Injil di Belanda yakni NZG agar mengirimkan utusan-utusan penginjil di Minahasa. Pada waktu Ds. G.J. Hellendoom bertugas sebagai pendeta di Manado (mulai tahun 1827) setelah mengadakan perjalanan ke pedalaman , ia mendesak Pengurus NZG agar mengirim utusan-utusan Injil ke Minahasa, sehingga ia dijuluki Gronlegger van Zendeling in de Minahasa ( Peletak dasar kegiatan pekabaran Injili di Minahasa). Atas petunjuk Ds. G.J. Hellendoom , maka pada waktu Pdt.Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz tiba di Manado dari Ambon pada tanggal 12 Juni 1831, Riedel dan Schwarz sebagai zendeling yang pertama masuk di Minahasa kemudian ditempatkan di Tondano (Riedel) dan Langoan (Schwarz).
Setelah selama ±4 bulan Pdt.Johann Friedrich Riedel di Manado dengan mempelajari bahasa, watak, adat istiadat dan kebudayaan orang-orang Tondano, maka pada tanggal 14 Oktober 1831, barulah ia datang di Tondano. Ia lebih memperdalam bahasa Tondano dengan mengintegrasikan dirinya dalam pergaulan dengan masyarakat. Ada sekitar ± 100 orang yang telah mengenal kekristenan walaupun pemahaman mereka masih sangat kurang. Karena itu usaha pertama Riedel dalam kegiatan penginjilan dengan memberi perhatian pada sekolah yang sudah ada serta mengadakan pendekatan dengan penduduk mengenai kehidupan sesehari serta perkunjungan rumah tangga. Perhatian Riedel terhadap orang-orang sakitpun sangat besar. Pendekatan terhadap masyarakat Tondano ditopang oleh isterinya yang sangat berperan dalam menciptakan suasana yang sangat bersahabat apabila ada percakapan-percakapan dengan penduduk di rumah tempat tinggal Riedel. Kegiatan selanjutnya adalah mengupayakan pendidikan bagi tenaga-tenaga pribumi untuk menyebar-luaskan kepercayaan “kekristenan dalam hati” (paham pietisme), dan memberi ruang bagi bertumbuhnya kehidupan gerejawi bergaya Minahasa. Salah satu pokok penting tentang pelaksanaan baptisan agar jangan dilakukan secara terburu-buru. Ketulusan keyakinan seseorang calon baptisan harus menjadi kriteria utama bagi pembaptisannya. Dilakukannya demikian setelah ia mempelajari daftar baptisan di Tondano dari abad ke 18 dan sangat terkejut setelah membaca tentang baptisan masal yang pernah dilaksanakan tanpa persiapan dan ujian. Sedangkan pandangannya tentang baptisan adalah: “Siapa yang mau menjadi Kristen tidak boleh bermaksud lain selain mencari keselamatan jiwanya; Ia harus meninggalkan kepercayaan dan kebiasaan agama suku (alifuru); Ia harus mengaku percaya kepada Allah yang benar dan Esa dan kepada Yesus Kristus Anak-Nya Sang Penebus; Ia harus berjanji akan hidup selaku orang Kristen sebagai ungkapan syukur atas anugerah-Nya. “Melalui pendekatan rangkap (pendidikan dan pengajaran Kristen) Riedel menyatukan diri dan keluarganya dengan masyarakat yang ada di Tondano. Perkembangan orang Kristen di Tondano meningkat setelah dibaptisnya seorang tokoh agama suku (walian) pada tahun 1834, sehingga sesudah Riedel bekerja melayani selama 8 tahun maka pada tahun 1839, didirikanlah bangunan Gereja (dikompleks Gereja Sentrum sekarang) dengan 800 tempat duduk. Bersamaan dengan itu didirikan pula tempat-tempat pertemuan/tempat beribadah di sore hari. Dengan cara pendekatan yang dilakukannya berbuah yang sangat mengherankan sehingga pada tahun 1850, penduduk Tondano yang dibaptis mencapai 70%.
Ada cerita tentang pertemuan pertama Pdt. Riedel pada saat berkunjung di tempat kediaman Walian tersebut (Dotu Sumanti) berupa rumah panggung yang terletak dikintal Puterpra dulu di Kelurahan Kendis. Setelah tiba dimuka rumah Sumanti, ia memanggil si Walian dan terjadilah dialog sbb :
Riedel : O patuariku Sumanti ko manakan ? ( Hai saudaraku Sumanti apakah engkau ada ?)
Walian : Patuariku wisa ko, ko kulo’ (Saudaraku dari mana kamu,, kulitmu putih)
Riedel : Penampa’an’ku waki katerungan di êndo. Ni’itu mou ku kulo’ Ku nêi rêomi ni Telu matuari, si siminalar kaoatan yê’i, nêi sêron si patuarimu Sumanti waki Toudano. ( Saya berasal di tempat yang terlindung cahaya matahari.Saya disuruh/diperintahkan oleh Allah Tritungga , untuk datang cari /menemui saudaramu Sumanti di Tondano.)
Walian : Em, sa tuana lumongkoti (sambil menurunkan tangga). ( Em, kalau demikian, silahkan naik)
Riedel : (Riedel kemudian naik kerumah panggung itu)
Walian : Rumuber, tumenga’ (Silahkan duduk, silahkan makan pinang)
Riedel kemudian duduk dan menerima tawaran Walian Sumanti untuk mengunyah pinang. Setelah itu terjalinlah hubungan antara mereka sehingga memudahkan Riedel untuk menjelaskan tentang siapa Allah Tritunggal itu.
Dalam waktu yang singkat, Dotu Sumanti bersama 6 (enam) orang pembantunya menerima untuk dibaptiskan di kali kecil di belakang Kantor PLN Ranting Tondano sekarang. (Dituturkan oleh Bapak Willy Wakary)
Selama hampir 30 tahun Riedel bekerja di Minahasa berpusat di Tondano telah membaptis 9341 orang dan menerima/meneguhkan sebanyak 3851 anggota menjadi sidi jemaat. Dalam pelayanan Riedel juga dibantu oleh para saksi baptisan yang turut mengambil alih tugas pengajaran dan bimbingan kepada para calon baptisan. Tradisi saksi baptisan dibawa Riedel dari Gereja di Jerman, dan pengajaran baptisan dilaksanakan dalam “kampongan” yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan membentuk kelompok-kelompok katekhisasi baptisan dan pengajaran sidi. Baptisan dan Perjamuan Kudus ( 2 jenis sakramen yang diakui oleh Gereja Protestan) dipisahkan. Mereka yang telah dibaptis dan menjadi calon anggota sidi jemaat, harus tambah belajar dengan memperdalam pemahaman tentang ajaran-ajaran dalam Alkitab, agar supaya pengakuannya lebih teliti, mendalam dan mendasar. Perjamuan Kudus yang dilaksanakan oleh Riedel pada masa itu tidak lebih dari 2 kali dalam setahun. Karena keseriusannya tentang Perjamuan Kudus ia menekankan : “ Dengan takut dan gentar, dengan mencucurkan air mata dalam ketakutan bahwa siapa yang minum dan makan dengan tidak berlayak akan memberatkan hukuman .”
Methode pelayanan Riedel menempatkan pengajaran sebagai misi utama, sehingga ketika Riedel tiba di Tondano baru terdapat 4 sekolah di wilayah kerjanya, setelah dua puluh satu tahun kemudian (1852) sudah ada 16 sekolah dengan sekitar 1500 murid. Bagi setiap orang yang meminta dibaptis berlaku syarat sebagai berikut :
- Kalau ia tidak terlalu tua, ia harus tahu membaca
- Ia harus berjanji akan menyekolahkan anaknya
- Perkawinannya harus diberkati di gereja
Dalam pelayanan/pemberitaan disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam ibadah Minggu dipergunakan bahasa Melayu, dilanjutkan dengan “salinan” pada sore hari yaitu khotbah yang diucapkan dalam bahasa Melayu di Gereja (Sentrum sekarang), diulangi dalam bahasa setempat (Tondano) di tempat-tempat ibadah/pertemuan jemaat., yang kemudian dikembangkan menjadi kelompok belajar Alkitab yaitu pada hari Senin dan Kamis malam. Walaupun dikemudian hari bahasa Melayu sudah dipakai oleh masyarakat/jemaat tetapi ibadah “salinan” tetap berarti dan dilaksanakan sampai sekarang.
Pada tahun 1852 Riedel jatuh sakit dan tidak bekerja lagi sampai ia wafat pada tanggal 12 Oktober 1860 di Tondano dimakamkan di pekuburan umum di Kelurahan Ranowangko Tondano.
Pendeta NZG yang melayani Tondano
Pdt. J.F. Riedel 1831 – 1852
Pdt H.W. Nooij 1852 - 1853 (meninggal karena penyalit perut pada 21/12-1853)
Pdt. J.H. Rooker 1854 - 1905
Pdt. Langevord 1906 – 1920.
sekian & terimah kasih
(dari RAIN SUMANTI @ grup KELUARGA BESAR SUMANTI on facebook)
sapa yang da info ato mo ba posting di blog ini , ba bilang jo , nti qta kse dpe password ....
BalasHapus:)
qta boleh, postingan di atas itu ada copas qta(Rain Sumanti) p postingan d fb to?
Hapussebelom datang agama kristen, agama apa yang dianut orang Tondano/Minahasa?
BalasHapusAgama suku.masih banyak unsur mistik.
Hapus